Friday, April 14, 2017

Dari Pelakor Hingga Teori Evolusi Darwin

Di tengah hiruk-pikuk feeds sosmed yang sudah mulai ramai dengan foto-foto  prewedding, pernikahan, hingga test pack dengan dua garis (yang berlatar belakang jedhing), aku hanya bisa menikmatinya sambil cekrek-cekrek selfie di pojokan kamar diselingi dengan mamam batako goreng bersambal wijen. Hahaha. Ketauan banget yaaa kalau follower setia Lambe Turah. Tolong abaikan prolog yang selalu geje ya, sekarang lanjut ke pokok permasalahan. Sebenar-benarnya aku sedang sedih, bingung, dan tertekan. Sebabnya? Multifaktor. Pertama, sebagai pengikut setia akun-akun gosip pastilah kalau soal berita paling update di dunia selebritis atau fenomena yang sedang in aku nggak akan ketinggalan. Di sisi lain, hal ini ngasih dampak buruk juga ke aku. Saat fenomena kepelakoran yang korban utamanya mamak-mamak muda mulai melanda Indonesia, aku yang dulunya (sempet) nggak mau nikah (lalu sekarang sudah ada hasrat untuk menikah hahaha), tiba-tiba jadi down. Kemakan banget sama berita itu. Semacam ikut merasakan sakit batin yang dialami mamak-mamak korban pelakor itu. Sumpah jadi takut sama kesel sendiri. Oh ya, yang belum tau apa itu pelakor aku kasih tau ya. Pelakor, entah siapa yang pertama kali mempopulerkan, memiliki kepanjangan "perebut laki orang". Konteksnya adalah laki orang alias pria yang sudah beristri SAH ya, jadi kalo ngrebut pacar belum bisa disebut pelakor (meski udah punya bibit).
Jujur aku belum pernah merasakan kekhawatiran seperti ini sebelumnya, takut akan mengalami hal yang sama. Beberapa kisah kepelakoran yang aku ikuti,  mulai kalangan artis hingga masyarakat awam semua ngasih efek yang sangat besar pada korban. Rumah tangga bisa dipastikan hancur dan anak-anaknya mungkin mengalami trauma psikologis karena perpisahan orang tuanya (yang umumnya nggak baik-baik). Walau ada sebagian mamak yang mempertahankan pernikahan meski suaminya digarong pelakor, tapi nggak bisa ngebayangin deh hidup berumah-tangga dengan beban batin seperti itu. Dengan bukti dan fakta yang sudah terpampang nyata, yang mengherankan masih ada beberapa netizen di luar sana yang membela pelakor dengan jargon andalan "tamu nggak akan masuk kalo pemilik rumah nggak membuka pintu untuknya". Hellooooo terus ngapain jadi tamu nggak diundang, yang gedor-gedor pintu rumah orang yang jelas-jelas udah ditutup atau dikunci? Tuh kan jadi kzl bats gua!!! Ada juga yang ngebela pake alasan "itu pasti istrinya bermasalah, nggak mungkin suami selingkuh kalo istrinya baik-baik aja". Tolong banyak-banyak makan ikan salmon ya supaya selubung myelin saraf tetep terjaga dan nggak rusak. Maaf jadi nyinyir banget sama logika kayak gitu. Apapun alasannya, perselingkuhan itu nggak bisa dibenarkan. Istri bermasalah? Mbok ya situ tulung lah sebagai suami  menjalankan fungsi dalam membimbing dan mengarahkan istri agar berubah menjadi lebih baik, bukannya malah nyari pelampiasan ke wanita lain. 
Selain pembelaan yang didapat dari beberapa gelintir netizen, umumnya pelakor juga mencuitkan bantahan atau alasan untuk membela diri yang tentunya nggak masuk akal. Diantaranya adalah "aku nggak selingkuh kok sama suami dia, apa salahnya kalo chatting atau sekedar boncengan?". Lah emang selingkuh cuma sebatas kalau udah intercourse sama pasangan orang lain? Lagian ngapain eloh chatting mesra sampe jalan bareng (berdua) sama suami orang untuk happy-happy? Bener-bener nggak ngerti deh, ngeselin banget.  
Sebenarnya karena kekesalan dan kekhawatiran akan serangan pelakor itu, aku sekarang jadi kenceng banget kalo berdoa soal kehidupan rumah tangga. Mulai dari memohon untuk dimampukan dalam berumah tangga sampai mohon untuk dijauhkan dari  tetek bengek dunia kepelakoran (menjadi pelakor atau diserang pelakor). Kalau kata bulikyang kalau aku dateng kerumahnya selalu didoakan supaya aku cepet ketemu jodohnyari suami sih yang agamanya kuat, jadi apa-apa yang dikerjakan akan menuai pahala dan keberkahan dari Tuhan (dan tentunya punya pertahanan kuat dari serangan pelakor). Yaelah ini ujungnya nyangkut kegalauan tentang jodoh lagi. Skip aja lah! Nggak usah dilanjutin curcolan tentang ini. Hahaha.
Poin kedua yang membuat aku agak gundah adalah ketidaktahuan tentang kebenaran yang sebenar-benarnya. Ini soal kasus pabrik semen dan masyarakat di Kendeng, Rembang. Aku follow salah satu online bookstore yang gemar melancarkan dukungan untuk isu-isu sosial bertema ketidakadilan atau penderitaan rakyat, salah satunya ya isu Kendeng ini. Suatu waktu dia mengepos kenyinyirannya terhadap statement salah satu pemuka politik di negeri ini, Pak D, yang membela pabrik semen. Aku yang semula membela masyarakat Kendeng (cuma) berlandaskan isu lingkungan yang diangkat, jadi berpikir ulang karena membaca capture-an status Pak D di Facebook. Jangan-jangan isu  kerusakan lingkungan yang digembar-gemborkan itu hanya fiktif? Jangan-jangan masyarakat di sana diprovokasi oleh pihak-pihak yang selama ini jadi rival pabrik semen yang sekarang jadi BUMN itu? Jangan jangan jangan jangan?? Ketidakpastian itu menyulut rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Karena belum mampu terjun ke lapangan langsung, maka akhirnya dengan bakat kepo yang kumiliki, aku cuma bisa nyari info lewat internet. 
Saat itu aku belum bisa menentukan sikap, mau pro atau kontra. Masalahnya satu : banyak sumber yang tidak netral lagi. Mereka nggak meng-cover berita dari dua sisi, malah ada tendensi-tendensi untuk menggiring opini publik untuk pro atau kontra. Ya emang wajar sih kalau ada pro-kontra tentang suatu kebijakan. Tapi hendaknya media tidak memperkeruh suasana dengan memberitakan ke-hoax-an secara berjamaah demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Kami masyarakat awam yang nggak ngerti kondisi lapangan kan  jadi bingung. 
Ketidakpercayaan dengan media jaman sekarang, membuatku tiba-tiba merindukan diskusi rutin saat masih jadi mahasiswa dulu. Sekarang udah jarang bangeeeeet dan nggak ada temen lagi untuk ngobrol asik ngebahas masalah kayak gini. Untungnya kapan itu temen baikku yang lulusan teknik pertambangan ngajak meet up for the last time sebelum dia hijrah ke Jakarta. Kesempatan ini aku gunakan buat kepo soal seluk beluk kegiatan penambangan semen. Sedikit banyak jadi ngerti kalau nggak semua kegiatan penambangan itu totally ngrusak alam, di sisi lain jadi ngrasa "Ya Tuhan, aku masih cupu banget ternyata". Tapi akhirnya setelah tau dikit-dikit tentang dunia tambang pun, tetep belum bisa menentukan sikap sih. Coba kalau udah dan aku pro, mungkin minimal aku bisa ambil bagian dengan berdonasi atau apalah untuk mendukung masyarakat Kendeng dalam kegiatan fund raising yang di-support sama online bookstore yang aku follow itu. Aku milih bersikap netral karena jujur aku yakin semua sikap yang kita ambil di dunia akan ada tanggungjawabnya kelak di akhirat. Bukan ingin sok agamis atau apa, tapi menurutku pribadi selama masih ada keraguan lebih baik tidak memiliki kecenderungan ke salah satu pihak.
Sampe pada pembahasan poin ketiga. Sebenernya ini agak remeh temeh sih dan mungkin kamuyang mungkin membaca curhatan inibergumam "shyyyt, apalah ini nggak penting bingits". Hehehe. Ini soal teori evolusi Darwin. Lagi-lagi yang membuka ruang diskusi adalah akun online bookstore yang aku follow itu. Saat itu aku komen hingga timbul perdebatan panjang lebar. Disini aku ngambil sikap kontra dengan teori tersebut. Sebagai mantan bocah Biologi, aku sedikit banyak tau soal teori evolusi Darwin. Ada beberapa "kecacatan" dalam teori tersebutyang diakui oleh Darwin sendirimeski sampe sekarang teori evolusi masih amat sangat mengagumkan. Kamu pasti sepakat dengan pernyataanku : pada umumnya dalam sains, hal-hal gaib pasti tidak akan ikut dibahas untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Pun dengan teori ini, sebenernya nggak akan pernah ketemu konklusinya kalo dibahas dengan teori yang gaib saja. Tinggal bijak-bijaknya kita sih mau percaya meski bersebrangan atau gimana. Teori Darwin adalah teori materialisme. Material satu ada karena material lain karena kebetulan yang merupakan hukum alam, bukan ujug-ujug ada material itu karena ada penciptaan. Reasonable untuk logika manusia yang amat sangat terbatas ini. Tapi justru inilah sumber yang membuat  aku mengambil sikap kontra.
Hal ngeselin pada diskusi yang berujung pada percekcokan itu adalah ketika aku dianggap nggak berpikir logis dan dipaksa untuk mengakui kebenaran pendapat orang lain yang baru sebatas probabilitas-probabilitas buatannya sendiri. Capek juga njelasin dari segi ilmiah yang aku tau sampe soal keyakinanku pribadi soal gaib yang bertentangan dengan teori materialisme. Jujur aku nggak menutup diri dari cara berpikir logis manusia, justru yang nggak logis adalah ketika sudah ada bukti-bukti ilmiah terpercaya yang menguatkan statement dari yang gaib, tapi kamu masih memaksa orang lain untuk sependapat denganmu. Kalau salah satu alasanku adalah keyakinan pada hal gaib, aku rasa nggak ada satupun orang berhak menghakimi dan mendiskreditkan hal itu.  It's okay lah kalau disuruh berpikir logis dan dituntut ngasih bukti riil lain. Eh tapi kalau hal riil lain itu ternyata menguatkan dan linier dengan keyakinan terhadap hal gaib kenapa malah dianggap cocoklogi sih? Kok kayaknya banyak yang nggak terima gitu kalau apa yang terkandung dalam kitab suci agama yang aku anut banyak cocoknya sama sains ya? Hahaha.
Perdebatan soal teori Darwin di kolom komentar itu berlangsung sampe dua hari nggak kelar-kelar. Akhirnya nggak berlanjut setelah aku diem, udah males bales komen dari kubu lawan. hahaha. Setelah kelar, aku ngrasa bodoh banget memperdebatkan hal itu. Jujur sampe panas loh ngebaca komen-komenan di sana. Tapi biar (dianggap) agamis, aku tetep ambil hikmah lah. Jadi belajar lagi bagaimana sesungguhnya sikap yang tepat dalam mengemukakan pendapat alias mikir sakdurunge njeplak. Satu lagi, wis wayahe mikir masa depan awakmu dhewe nduk, leren le mikir lan padu masalah ra penting!

No comments:

Post a Comment